Waspadai Bangkitnya HTI di Indonesia, Tolak Provokasi dan Jaga Persatuan

oleh -422 Dilihat

JAKARTA – Media sosial dihebohkan dengan video pembakaran bendera organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Aksi pembakaran bendera yang dilakukan oleh oknum berseragam Banser itu pun menuai pro kontra di masyarakat.

Ketua Umum PB HMI Respiratori Saddam Al Jihad meminta semua pihak untuk menahan diri dan insiden pembakaran bendera HTI tak perlu dilakukan proses hukum.

“Dalam melihat permasalahan yang terjadi dalam waktu-waktu terakhir ini, terkait pembakaran bendera HTI, maka tidak perlu dilakukan proses hukum,” tegas Saddam Al Jihad, hari ini.

Menurut dia, dalam posisi ini hal paling terpenting tidak perlu memperkeruh suasana dan terprovokasi sehingga hubungan sosiologis sesama umat Islam dan bangsa Indonesia mudah terganggu.

“Oleh karena itu, PB HMI mengajak untuk membuka ruang silahturahim agar hubungan sesama manusia dan umat muslim dapat berjalan dengan baik dan mendukung penyelesaian permasalahan ini,” ujarnya.

Terakhir, kata dia, PB HMI menegaskan untuk menekankan kepada kader HMI dan umat muslim bahwa tidak ada gerakan yang bisa mengadu domba persaudaraan umat muslim, sehingga merawat umat dan bangsa adalah hal yang penting dalam momentum kebangsaan hari ini.

“Jaga persatuan, tolak provokasi,” ucap Saddam.

Sementara itu, Wakil Katib PWNU Jateng, KH Nasrulloh Afandi menyatakan, keberadaan HTI dan hal-hal yang berkaitan dengan gerakan organisasi terlarang tersebut, termasuk simbol-simbol HTI, dalam tinjauan ushul fiqih adalah Syad ad-Dari’ah atau sesutu yang membahayakan.

“HTI jelas mengancam stabilitas negara,” tegasnya.

Peraih Doktor Maqashid Syariah Suma Cumm laude Universitas Al-Qurawiyin Maroko itu mengatakan, bendera HTI, bisa di-qiyas-kan dengan rudal, nuklir, atau senjata pemusnah lainnya, yang sengaja bertujuan untuk memusnahkan atau menjatuhkan suatu negara yang dalam keadaan aman dan tentram. Meskipun ‘dibungkus’ senjata itu tertulis kalimat tauhid, namun senjata tersebut harus dimusnahkan.

“Jadi, meski dalam sebuah bendera organisasi tertentu tertulis kalimat tauhid, tetapi organisasi tersebut jelas-jelas sudah dilarang oleh pemerintah, karena mengancam keutuhan bangsa dan Negara, maka bendera organisasi atau gerakan modus semacam itu, wajib dimusnahkan,” tutur alumnus Pesantren Lirboyo Kediri itu.

Bahkan, sambung dia, ideologi HTI lebih berbahaya dari mortir. Jika mortir hanya bisa merobohkan bangunan kokoh, tetapi ideologi HTI berisiko menghancurkan negara dan moralitas manusia,” ujar kiai NU yang aktif sebagai mubaligh itu.

Ia menegaskan pada kasus tersebut bukan membakar kalimat tauhid-nya, tetapi memusnahkan alat penjahat negara, yaitu membakar bungkus politisasi agama yang dilakukan oleh organisasi terlarang dan sudah jelas dilarang oleh pemerintah itu.

Dosen senior Ushul Fiqih Ma’had Ali Pesantren Balekambang Jepara itu menegaskan HTI jelas adalah gerakan terlarang bertujuan meruntuhkan NKRI.

“Gagasan khilafah oleh HTI dianalisis dalam perspektif Maqoshid Syariah, merupakan Jalbul Maslahath al-mutawahhamah atau berasumsi adanya kebaikan. Dengan penerapan khilafah di Indonesia, dengan target memberangus Pancasila,” urainya.

Padahal sejatinya, gagasan Khilafah di Indonesia oleh HTI adalah Jalbul Mafasid Al-mutahaqqoqoh (mengundang mafasid atau berbagai mara bahaya yang benar-benar nyata) karena mengganggu stabilitas negara, berisiko pada stabilitas ekonomi sosial dan politik.

Pertumpahan darah dipastikan akan jatuh korban ribuan jiwa pro kontra jika kelompok HTI memaksakan ajaran mereka. Jadi, jika dalam tinjauan fiqih gerakan HTI adalah bughot (pembangkang negara).

Sedangkan dimensi ushul fiqih-nya adalah syad ad-daroi (skandal yang mendatangkan bahaya).

“Maka natijah maqoshid syariah-nya gerakah HTI adalah mafsadath al-kubra (kerusakan besar),” katanya.

Obsesi HTI menerapkan syariat Islam di Indonesia, tetapi prosedurnya sudah menabrak Maqoshid syariah.

Meski demikian, ia menyerukan, ketika publik menemukan bendera atau simbol-simbol HTI, lebih tepat diserahkan kepada aparat berwajib.