Oleh : TW Deora
Kelompok makar dan separatis seperti West Papua New Guinea dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) berencana merayakan hari kemerdekaan mereka masing-masing pada tanggal 27 November 2019 dan 1 Desember 2019. Sejatinya, rencana mereka tidak mendapatkan sambutan dari masyarakat di tanah Papua dan Papua Barat, bahkan beberapa tokoh masyarakat akan berusaha menegur kelompok manapun yang akan menggelar aksi memperingati HUT OPM 1 Desember 2019, karena masyarakat Papua dan Papua Barat tidak mau menjadi korban provokasi dan tidak ingin melakukan tindakan yang masuk ke ranah makar, karena mereka menyakini dan membenarkan mendukung segala aktivitas yang dilakukan West Papua New Guinea dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) beserta seluruh underbow politiknya adalah tidak sah dilakukan di dalam wilayah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yaitu Indonesia.
Sejauh ini, kelompok pendukung OPM terus mencoba untuk membalikkan fakta dan membuat propaganda dengan terus menyudutkan posisi Indonesia. Beberapa materi propaganda yang mereka lontarkan antara lain pertama, pada pertemuan PIF tanggal 13 Agustus 2019 di Pasific di mana Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dan Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir terjadi adu pendapat dalam forum karena negara-negara luar berbicara tentang kemerdekaan Papua Barat (menurut penulis hal ini jelas tidak benar dan hoax, karena delegasi Indonesia selalu satu suara soal Papua dan hal tersebut jelas sesuai instruksi Presiden dan sudah dilaporkan ke Presiden Jokowi).
Kedua, kelompok pendukung OPM termasuk beberapa negara di Pasifik khususnya Vanuatu dan Solomon Island terus mempropagandakan bahwa isu kemerdekaan Papua atau self determination bagi tanah Papua sudah didukung 137 negara (menurut penulis, pernyataan bahwa masalah kemerdekaan Papua didukung 137 negara jelas menyasar dari fakta di lapangan, karena masih banyak negara-negara yang ingn menjalin kerja sama dengan Indonesia, terbukti Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Propaganda yang dilakukan pendukung OPM jelas menggunakan teori bandwagon effects, namun tidak maksimal sama sekali, buktinya tidak ada intervensi asing kepada Indonesia terkait Papua, bahkan Australia dan Selandia Baru mengakui kedaulatan NKRI termasuk didalamnya Papua, bahkan kedua negara ini menolak permintaan OPM agar mereka menyuplai senjata kepada kelompok separatis dan teroris tersebut).
Ketiga, kelompok pendukung OPM selalu menyebutkan bahwa tanggal 13 s.d 21 Agustus 2019, terjadi unjuk rasa di seluruh dunia termasuk di Papua terkait penolakan New York Agreement karena lahirnya pernyataan New York Agreement yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda, Amerika dan Uni Soviet terkait pernyataan membangun orang Papua selama 25 tahun dan setelah itu kembalikan hak-hak orang Papua (menurut penulis jelas ini merupakan propaganda yang sarat dengan kebohongan publik dan pernyataan yang kurang mengerti sejarah integrasi Papua dalam NKRI. Bahkan, rencana Free West Papua Campaign terkait “Global Flag Raising” tanggal 1 Desember 2019 juga sepi dari respons masyarakat di Papua sendiri apalagi masyarakat global. Mereka sudah mengerti dan menyadari bahwa Papua adalah bagian sah Indonesia, karena Indonesia adalah Papua dan Papua adalah Indonesia).
Keempat, kelompok OPM dan pendukungnya seperti Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Mahasiswa Nasional terus menyuarakan tuntutan “tidak masuk akal” mereka seperti segera bebaskan tanpa syarat 6 tahanan Papua termasuk Surya Anta Ginting; Segera bebaskan tanpa syarat seluruh aktivis Papua di seluruh Indonesia; Hentikan segala bentuk tindakan represif terhadap jurnalis dan buka akses jurnalis lokal maupun internasional di Papua; Tarik seluruh militer atau aparat gabungan dari Papua, hentikan segala bentuk militerisasi; Hentikan mempersulit akses bantuan hukum bagi aktivis Papua ataupun aktivis pro demokrasi; Hentikan diskriminasi rasial serta tindakan represif terhadap aktivis Papua dan aktivis pro demokrasi; Stop memicu terjadinya konflik horizontal di Papua; Buka akses bantuan humaniter bagi pengungsi Nduga tanpa melibatkan militer; Tolak pemekaran provinsi di Papua karena itu adalah bentuk dari politik pecah belah.
Tuntutan “tidak masuk akal”
Tuntutan di atas jelas “tidak masuk akal” seperti “Bebaskan tanpa syarat 6 tahanan Papua termasuk Surya Anta Ginting” dan “Segera bebaskan tanpa syarat seluruh aktivis Papua di seluruh Indonesia” dengan alasan jika mereka dibebaskan berarti Indonesia bukan negara hukum, karena di Indonesia berlaku prinsip “equality before the law” dan Surya Anta Ginting dinilai aparat penegak hukum Indonesia bersama Victoria Koman adalah “provokator” masalah Papua. Memang patut disayangkan, Victoria Koman yang sempat ditangkap, namun kabur ke Australia. Seharusnya, Polri segera bekerjasama dengan Interpol untuk menangkap Victoria Koman.
Tuntutan “Hentikan segala bentuk tindakan represif terhadap jurnalis dan buka akses jurnalis lokal maupun internasional di Papua” jelas tidak masuk akal, karena beberapa kali Papua dan Papua Barat dikunjungi jurnalis asing, termasuk kalangan Kedubes asing. Pascakunjungan, mereka terkesima dengan kemajuan pembangunan dan HAM di Papua selama menjadi milik sah Indonesia. Pemerintah juga tidak pernah membredel media lokal baik cetak dan online yang beredar di Papua dan Papua Barat.
Tuntutan “Tarik seluruh militer atau aparat gabungan dari Papua, hentikan segala bentuk militerisasi” dan “Buka akses bantuan humaniter bagi pengungsi Nduga tanpa melibatkan militer” jelas mencerminkan tuntutan yang menggambarkan bagaimana dekatnya hubungan emosional kelompok yang meneriakkan tuntutan ini dengan kelompok separatis di Papua dan Papua Barat. Tidak ada aturan hukum internasional yang dilanggar Indonesia terkait penempatan militer, intelijen dan Polisi di Papua dan Papua Barat, karena memang itu hak konstitusional Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui hukum internasional, termasuk hukum militer internasional.
Tuntutan “Tolak pemekaran provinsi di Papua karena itu adalah bentuk dari politik pecah belah” jelas bertentangan dengan aspirasi murni masyarakat di Papua dan Papua Barat. Bahkan sekelompok tokoh masyarakat di wilayah Papua Selatan dan Pegunungan Tengah sudah menyampaikan proposal mendukung pemekaran Papua kepada Gubernur Lukas Enembe, belum lama ini di Jayapura.
Tuntutan “Stop memicu terjadinya konflik horizontal di Papua” jelas semakin menunjukkan kekurangsadaran dari kelompok yang meneriakkan tuntutan ini bahwa tuntutan merekalah yang memicu konflik di Papua, karena selama ini kondisi di Papua dan Papua Barat tetap kondusif dan damai bersama Indonesia.