Wahai KPK, Korupsi Mengakar di Masyarakat : Dicegah atau Diobati?

oleh -622 Dilihat

Korupsi merupakan penyakit kronis peradaban yang dapat melumpuhkan bangunan sebuah bangsa dan negara. Masalah korupsi bukanlah hal yang baru di Indonesia bahkan di dunia, tetapi masalah korupsi sesungguhnya sudah setua peradaban manusia itu sendiri. Sehingga, setiap upaya pemberantasan korupsi tidaklah dapat diselesaikan secara parsial atau setengah-setengah (setengah serius, setengah main-main, red.).

Selama ini upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terkesan terlalu mengedepankan aspek penegakkan hukum, alias aspek legal formalnya saja, tetapi tidak diimbangi atau memperhatikan aspek-aspek penting lainnya seperti aspek sosiologis-antropologis, budaya atau adat-istiadat/tradisi, psikologis bahkan agama dan sebagainya.

Padahal, pendekatan aspek-aspek lain dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi juga sangat menentukan keberhasilan dalam upaya pencegahan korupsi. Karena sejatinya yang ingin kita capai dari upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah aspek pencegahannya, bukan seberapa banyak orang atau pejabat atau politisi tertangkap tangan atau dijadikan tersangka kasus korupsi, lalu diblow up habis-habisan.

Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Ada kesan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau lebih kita kenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin menunjukkan ke publik punya prestasi luar biasa karena banyak melakukan operasi tangkap tangan dan banyak menjadikan pejabat-pejabat BUMN dan pejabat daerah sebagai tersangka korupsi.

Belakangan mulai muncul beragam pandangan dan pendapat dari masyarakat bahkan DPR, jangan-jangan KPK malah condong sisi politisnya ketimbang penegakkan hukumnya alias tebang pilih dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Diantara banyak pandangan tersebut, sekelompok cendikiawan yang tergabung dalam Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) menyelenggarakan NGÕBR@$, alias Ngopi Bareng Sahabat LKSB dan diskusi dengan tema: “PEMBERANTASAN KORUPSI, SUDAH BENARKAH?

Diskusi Rutin yang diselenggarakan LKSB itu menghadirkan Dedy Cahyadi, SH, Advocat yang juga Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPBH PBNU) sebagai Keynote Speaker, para pakar dan praktisi hukum, pengamat sosial, politik dan budaya serta aktifis gerakan, yang dipandu oleh Abdul Ghopur selaku Direktur Eksekutif LKSB sebagai penggagas sekaligus Host acara.

Dalam penyampaian pemarannya, Dedy menyatakan;

1. Pemberantasan korupsi saat ini masih dinilai kurang tepat karena kordinasi antar instansi penegak hukum tindaknpidana korupsi masih kurang baik.

2. Pemberantasan hanya pada tindakan represif, jauh dari upaya pencegahan. 

3. Indikator perspsi korupsi masih tinggi, dan Indonesia masuk dalam urutan 89 dari 180 negara dalam keberhasilan pemberantasan korupsi

4. Orientasi pemberantasan tidak menyasar pada pengembalian kerugian negara sebagaimana tujuan dibentuknya KPK

5. Kurang transparannya KPK, kepolisian dan kejaksaan dalam releas pengembalian kerugian negara kepada bendahara negara terhadap perkara korupsi

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif LKSB dan Host acara NGÕBR@$ dan diskusi rutin LKSB, Ghopur mengatakan bahwa masalah korupsi dan penanganannya harus benar-benar komprehensif, jujur, adil, terbuka, transparan dan tentunya jauh dari nilai-nilai yang politis. Penegakkan pemberantasan tindak pidana korupsi semestinya tidak hanya fokus pada penangkapannya saja, melainkan pada pencegahan seseorang agar tidak melakukan korupsi, terutama para pemangku jabatan negara (karena mereka adalah contoh masyarakat).

“Siapa sih yang enggak geram dengan tindak pidana korupsi dan perilaku koruptif? Apalagi dilakukan oleh pejabat negara! Uang pajak dari keringat orang-orang susah yang patuh membayar pajak seenak perutnya dikorup oleh sebagian pejabat atau pengusaha yang kadang-kadang ‘lupa’ bayar pajak,” kata Ghopur.

“Saya sampai bosan (tanda kutif) tiap hari menyaksikan pejabat atau politisi ditangkap KPK, namun korupsi enggak pernah berhenti! Seolah-olah korupsi kok enggak ada habis-habisnya? Menjadi semacam aksioma kebosanan saya dengan kebosanan banyak orang menyakasikan di TV tiap hari ada saja orang atau pejabat ditangkap KPK. Lalu, apa sih yang mau diperlihatkan oleh KPK?” imbuhnya.

“Saya sampaikan ini bukan tidak pro terhadap setiap upaya pemberantansan tindak pidana korupsi, apalagi upaya pelemahan KPK, tidak sama sekali! Tetapi, kita ingin punya lembaga negara yang kredibel, punya integritas yang tinggi sekaligus profesional dan proporsional serta dapat dipercaya. Kita ingin KPK yang kuat dan dapat dipercaya dan bertindak sesuai perundangan-undangan yang berlaku serta sesuai hierarki ketata-negaraan Republik Indonesia,” tambahnya.

“Saat lembaga-lembaga lain berbenah diri, lah kok KPK malah berpolemik? Justru upaya pemberantasan tindak pidana korupsi seharusnya dilakukan secara sinergis dengan lembaga-lembaga negara yang lain, misalnya kepolisian dan kejaksaan. Sinergitas harus ditingkatkan oleh masing-masing lembaga negara terkait yang menangani perkara tindak pidana korupsi, agar tidak simpang siur dalam pelaksanaannya di lapangan,” tandasnya.

“Tetapi yang paling penting sekali lagi dari upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pencegahannya, bukan seberapa banyak orang ditangkap. Meski saya tetap setuju, penegakkan hukum menjadi ujung tombak agar ada efek jera pada para pelaku korupsi dan orang lain yang ingin coba-coba korupsi. Asalkan tidak ada nuansa atau unsur politisasinya ketimbang unsur penegakkan hukumnya seperti penangkapan yang tebang pilih yang sudah jadi rahasia umum selama ini. 

Dan, yang terpenting saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita ini bangsa Indonesia yang punya budaya atau kultur dan naturnya sendiri, jadi aspek ini pun perlu kita perhatikan,” tutup Ghopur.